zmedia

Ranjang Pengantin Berdarah Bagian Dua

Ranjang pengantin

 












Masuk ke dalam mobil, aku terus mengikuti Victor, mempelajari gerak-geriknya agar mempermudah akses masuk ke dalam keluarganya. Aku akan membalas dendamku secara perlahan, hingga dia merana lalu ma ti menahan siksaan di hati.


Bertahun-tahun lamanya mencari, kini dia sudah berada di hadapanku dan aku sangat yakin kalau dia tidak akan mengenali wajah yang sudah aku rombak menjadi Azhar yang berbeda, bahkan kartu identitas yang aku gunakan sekarang pun bukan lagi menggunakan nama Azhar, tetapi Wiliam Wibisono, seorang pengusaha tambang batu bara yang dulunya pemuda yatim piatu miskin juga terhina.


Aku sangat yakin, keluarga Victor akan menerima aku dengan mudah, sebab mata mereka akan terbuka lebar-lebar dan akan mempersilakan orang yang dianggap ber-uang masuk ke dalam hidup mereka.


Target utamaku adalah anak perempuannya, karena ingin mengambil apa yang dulu harusnya menjadi hakku tetapi direnggut paksa oleh ba ji ngan itu.


Aku tidak peduli kalau perempuan itu tidak tahu apa-apa, yang terpenting bagiku adalah menuntaskan dendam yang selama ini membelenggu hidup, dan setelah semua terbayar, jika harus ma ti pun aku akan pulang ke pangkuan Tuhan tenang.p


“Saya menginginkan putrinya Victor!” ucapku sambil menatap lurus ke depan.


“Baik, Bos!” jawab anak buahku sambil mengangguk patuh.


Rahangku kembali mengeras ketika mengingat tragedi berdarah sembilan belas tahun yang lalu, dimana Victor dan para anak buahnya dengan keji merenggut paksa kehormatan Miranti hingga akhirnya dia mengakhiri hidupnya tepat di depan mataku, membuat hidupku terus saja dibayangi kepedihan, dan bisa dipastikan Victor pun akan merasakan hal yang sama seperti apa yang aku rasa selama ini.


Selama sembilan belas tahun lamanya aku hidup berkalung luka, sedang di dalam hati tersemat rasa dendam membara yang tidak pernah bisa dipadamkan.


Berkali-kali teman-teman terdekatku menasihati untuk melupakan semua yang terjadi, akan tetapi rasanya aku tidak mampu menghapus luka yang Victor torehkan, apalagi jika mengingat tubuh Miranti yang terbujur kaku tanpa busana serta berlumuran darah. Ranjang pengantin berdarah menjadi saksi ke bi adaban Victor, dan aku harus melupakan kejahatannya begitu saja?


“Argh!” teriakku sekencangnya, sambil memukul penopang kursi. Rasanya ingin mengambil alih kemudi lalu menabrak mobil Victor supaya dia dan keluarganya ma ti saat ini juga, namun aku juga tidak mau dia ma ti tanpa terlebih dahulu merasakan penderitaan yang selama ini terus menyelubung jiwaku.


Mobil yang dikemudikan Victor berhenti di halaman rumah lumayan cukup besar. Dua orang scurity pun membukakan pintu untuknya, dan terlihat seorang perempuan berpenampilan begitu anggun menyambut kedatangan dia serta gadis incaranku.


“Apa langkah selanjutnya, Bos?” tanya salah seorang anak buah sambil ikut mengintai rumah ba ji ngan itu.


“Kalian tunggu saja perintah dari saya!” jawabku.


“Baik, Bos!”


Aku memiringkan bibir, sudah tidak sabar rasanya ingin melihat kehancuran si breng-sek Victor. Api harus dibayar api, darah pun harus dibayar dengan darah.


Hari Minggu, pagi-pagi sekali aku sudah mengintai rumah Victor, dan aku lihat anak perempuannya keluar menggunakan sepeda motor.


Dia tersenyum kepada scurity yang membukakan pintu, lalu segera melajukan kendaraan roda dua tersebut meninggal rumah.


Segera menunggangi kuda besi milikku, terus mengikuti wanita itu sambil membayangkan betapa menggodanya tubuh mulus putri Victor serta reaksi si ba jingan itu jika aku melakukan hal yang sama seperti dirinya saat merenggut kesucian Miranti.


Tidak lama kemudian sebuah mobil mini van menghalangi jalan si wanita. Beberapa orang berpakaian serba hitam keluar dari kendaraan roda empat tersebut lalu menyeretnya masuk ke dalam, dan aku lihat putri semata wayang memberontak mencoba melepaskan diri sambil berteriak minta tolong.


Aku segera menepikan sepeda motor, menendang salah satu dari mereka namun siapa sangka ternyata orang-orang tersebut membawa senjata tajam.


“Kenapa Anda mengganggu kesenangan kami?” tanya salah satu dari mereka sambil menatap murka.


“Lepaskan dia, atau kamu tahu sendiri akibatnya!” Pasang kuda-kuda, lalu bersiap berduel walaupun terasa tidak imbang karena harus melawan enam orang.


Tetapi bukan Wiliam namanya kalau hanya menghadapi penjahat kelas teri saja sudah mundur. Akan kubuktikan kepada mereka kalau aku lebih unggul juga lebih kuat dari mereka semua.


Buk!


Sebuah tinju mendarat di perut orang yang bertubuh paling besar hingga dia terbatuk serta tersungkur.


Tidak lama kemudian dua di antara mereka kembali maju, sementara yang lainnya terus memegangi si wanita dan aku lihat sepertinya mereka sudah membuka hijab yang dia pakai juga mulai menganggalkan pakaiannya.


Walaupun tubuh dipegangi oleh dua orang bertubuh lebih kekar aku tetap berusaha melepaskan perempuan tersebut dari kungkungan para berandal, terus memberontak, mencoba melepaskan diri hingga kaki ini berhasil menendang laki-laki yang sudah berada di atas putri Victor yang terlihat begitu ketakutan.


“Argh! Sakit. Ampun, tolong berhenti. Ampun. Mas, tolong aku ...!” Suara jerit Miranti malam itu kembali memenuhi indra pendengaran, membuat api amarah kian berkobar-kobar.


Selama sembilan belas tahun lamanya, bayang serta suara itu terus saja terbayang, menghakimi pikiran membuat aku terus diliputi rasa bersalah karena sebagai seorang lelaki terlalu lemah sehingga tidak bisa menyelamatkan kehormatan wanita yang saat itu telah menjadi istriku.


“Lepaskan dia, Breng-se*!” Dengan sekuat tenaga mencoba melepaskan diri, menendang laki-laki yang sedang mengungkung tubuh wanita itu sekali lagi hingga dia tersungkur dan mengerang kesakitan.


Dengan api amarah yang sudah membumbung tinggi kutarik baju yang melekat di tubuhnya, menyeretnya dengan paksa keluar dari mobil lalu meninjunya hingga darah segar mengucur deras dari hidung.


Nafasku tersengal. Dada ini naik turun tidak teratur sementara urat-urat di tubuh mulai menonjol seiring dengan tanganku yang terkepal erat.


“Jangan pernah ganggu wanita lemah seperti dia!” berangku, berteriak tepat di depan wajahnya.


“A—ampun, Bos!” gagap para berandalan itu sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada.


Wanita berparas ayu di dalam mobil terlihat segera membetulkan pakaian, memakai kembali kerudungnya lalu berjalan gontai menghampiriku.


Wajahnya diliputi ketakutan. Tangannya mere-mas pakaian sendiri juga terlihat gemetar.


“Kamu tidak apa-apa kan, Nona?” tanyaku kemudian, dan hanya dijawab gelengan kepala.


Srrrt!


Darah segar memercik di wajah perempuan itu saat tiba-tiba salah seorang dari mereka hendak menikam, akan tetapi mengenai lengan karena aku segera menghindar.


Aku mengerang dan meringis kesakitan sambil memegangi luka mengaga di lengan, sementara putri Victor kembali menjerit ketakutan sambil beringsut menjauh.


Dia terus berteriak memanggil bantuan, akan tetapi karena keadaan jalan sedang sepi tidak ada satu orang pun yang datang.


“Om tidak apa-apa kan?” tanya gadis itu sambil berjalan menghampiri ketika para berandal telah pergi.


Aku hanya meringis kesakitan, sementara tangan ini mere-mas lengan sendiri namun darah segar terus merembes hingga menetes ke tanah.


“Duh, Om. Bagaimana ini? Darahnya keluar terus. Aku telepon Papa dulu, ya Om?” ucapnya panik.


“Telepon ambulans, bukan telepon baji-ngan itu!” ketusku.”


“Maksud, Om?”


“Sini ponsel kamu!” Mengambil ponsel di tangan gadis manja itu, lalu menghubungi ambulans juga nomor anak buahku supaya menjemput.


“Tapi Om nggak apa-apa kan?”


“Kamu lihatnya saya nggak apa-apa atau bagaimana?”


“Om terluka? Pasti sakit, ya Om?”


Astaga! Bocil ini. Ya jelas sakit orang darahnya aja terus mengalir seperti ini.


“Sakit banget, Om?” tanyanya lagi. Gurat ketakutan di wajahnya kini mulai berubah menjadi kekhawatiran saat melihatku meringis kesakitan. “Sabar, ya Om. Aku juga pernah kok ketusuk jarum pentul sampai berdarah, dan aku nggak nangis loh, Om?”


Aku mendengkus, tetap memegangi lengan sambil meringis kesakitan menunggu pertolongan datang.


“Kalau mau nangis nggak apa-apa, Om. Aku nggak bakalan bilang-bilang ke orang kalau Om tadi nangis,” ocehnya lagi, semakin menyebalkan.


“Kamu bisa diam nggak, Bocil!”


“Nama aku Vanila, Om.”


Aku hanya menggeram, terus mencoba membuka mata karena lama-lama kepala terasa berat, pandangan berkunang-kunang sementara nyeri di lengan kiri semakin terasa menjadi.


“Ah, cemen sekali. Baru mendapat luka tusukan seperti ini sudah mau pingsan!” keluhku dalam hati, namun tiba-tiba bumi tempatku berpijak terasa seperti sedang menenggelamkan tubuh ini. Semua terasa gelap, hingga aku tidak lagi bisa merasakan apa-apa, hanya suara jeritan Vanila terdengar memekakkan telinga.


***


Perlahan mata ini terbuka, lalu menutupnya kembali karena cahaya yang menyilaukan. Bau obat-obatan menyeruak memenuhi indra penciuman, mengadakan kalau saat ini aku sedang berada di rumah sakit.


Ketika membuka mata yang pertama aku lihat adalah Miranti, dan dia tersenyum lalu berjalan menghampiri.


“Dek?” panggilku dengan nada bergetar.


Dia berjalan semakin mendekat, dan tangannya kini terulur mengusap pipiku yang sudah ditumbuhi bulu-bulu halus.


“Dek, Sayang?” panggilku sekali lagi, sambil menggenggam tangan Miranti dan meremas jemarinya lalu menarik tubuhnya ke dalam pelukan.


Dia terus berusaha memberontak, akan tetapi aku tidak peduli, karena rasa rindu telah memenuhi rongga hati.


‘Kubingkai wajah cantik itu, mendekatkan wajah lalu menyapu lembut bibirnya, namun lagi-lagi dia memberontak dan berteriak meminta untuk dilepaskan.


Plak!


Panas perih menjalar di seluruh wajah ketika sebuah tangan mendarat di pipi. Aku membuka mata lebar-lebar, dan wajah Miranti kini berubah menjadi Vanila yang tengah menangis sesenggukan sambil mengusap bibirnya sendiri.


“Om jahat. Aku pikir Om orang baik karena sudah menyelamatkan aku waktu mau dilecehkan sama baji-ngan itu, tapi ternyata Om sama saja!” pekiknya di sela isak tangis. “Aku ini masih sekolah loh, Om. Nanti kalau aku hamil bagaimana? Masa aku harus menikah sama pria tua kaya Om!” imbuhnya lagi, sambil terus menangis seperti seorang bayi.


Aku mendengkus kesal. Niat hati ingin balas dendam, tetapi baru awal permainan sudah dibuat pusing dengan tingkah kekanakan Vanila. Entah dengan cara seperti apa Victor mendidik anaknya, karena seharusnya anak seorang penjahat seperti dia itu menjadi gadis yang nakal juga liar, tetapi ini malah terlalu polos, berbanding terbalik dengan sifat ayahnya yang ba ji ngan itu.

Sumber:Fizzo

Dewablog Blogger ,

Post a Comment for "Ranjang Pengantin Berdarah Bagian Dua "