zmedia

Di Antara Gerbong Kereta Bab 1

 Jam weker berdering pukul 05.10 pagi, sama seperti hari-hari sebelumnya.

Alya membuka mata dengan malas, memandangi langit-langit kosan sempitnya yang mulai berwarna kelabu. Udara pagi masih dingin. Sudah tiga minggu terakhir hujan selalu turun di malam hari, menyisakan aroma tanah basah yang menyusup dari sela-sela jendela.

Ia menarik selimut sebentar lagi. Lima menit. Atau sepuluh.

Tapi waktu tak menunggu siapa pun, apalagi pekerja seperti dirinya—pegawai administrasi yang digaji pas-pasan oleh perusahaan yang terlalu besar untuk peduli.

---

Gerbong kerets

Pukul 06.12, Alya berjalan menyusuri trotoar menuju stasiun. Rambutnya diikat rapi, mengenakan blouse abu-abu muda dan celana bahan hitam. Wajahnya polos, hanya dilapisi tipis pelembap dan sedikit lip balm. Tidak untuk menarik perhatian siapa-siapa—lebih kepada kebiasaan merawat diri di tengah rutinitas yang kaku.

Warung kopi stasiun sudah ramai. Orang-orang berdiri dalam diam, menyesap kafein sambil menunggu kereta. Beberapa menatap ponsel, lainnya memasang wajah kosong, tenggelam dalam pikirannya masing-masing.

Alya membeli kopi sachet favoritnya, bukan karena enak, tapi karena murah dan menghangatkan tangan. Di dalam stasiun, kereta commuter tujuan akhir Kota Selatan sudah masuk peron.

Gerbong tiga, kursi keempat dari belakang, sebelah jendela.

Tempat yang sudah seperti miliknya.

---

Ia menyandarkan kepala pada kaca jendela yang dingin. Di luar, langit mulai beranjak terang, tapi cahaya pagi masih malu-malu menembus kabut tipis. Kereta belum berangkat. Penumpang satu per satu masuk. Beberapa terburu-buru, beberapa terlalu tenang.

Lalu datanglah dia.

Laki-laki itu.

Pertama kali Alya memperhatikannya, mungkin dua minggu lalu. Ia tidak ingat pasti. Ia hanya menyadari satu hari, laki-laki itu selalu naik kereta yang sama. Duduk di seberangnya. Membuka sketchbook, menggambar tanpa menoleh.

Tidak pernah menyapanya. Tidak juga tersenyum.

Tapi setiap pagi, ia ada.

Dan bagi Alya, itu cukup membuat paginya tidak benar-benar kosong.

---

Reyhan—nama yang ia tebak sendiri dari secarik label kecil di tas kanvas laki-laki itu—selalu mengenakan jaket cokelat kusam dan celana jeans pudar. Wajahnya bersih, rambutnya berantakan tapi tidak jorok. Tatapannya dalam, tapi seolah memandang dunia lain.

Alya tidak tahu apa yang ia gambar.

Ia hanya tahu setiap kali laki-laki itu mulai mencoret-coret, tangan kirinya menggenggam erat sketchbook, sementara tangan kanannya menari di atas kertas dengan kecepatan yang tidak lazim.

Kadang Alya curi pandang. Kadang ia pura-pura menatap ke luar jendela, padahal ekor matanya memperhatikan bagaimana alis laki-laki itu sedikit berkerut saat konsentrasi. Sesekali ia mendongak, dan Alya buru-buru menunduk.

Dan seperti biasa, tidak ada satu kata pun terucap di antara mereka.

---

> “Mungkin ini cuma kebetulan,” pikir Alya.

“Atau mungkin… aku butuh sesuatu untuk kutunggu tiap pagi.”

---

---

Hari itu, seperti biasa, Alya turun di stasiun Cikaret dan berjalan ke kantor dengan langkah tenang. Kantor itu berdiri seperti kotak abu-abu besar, tanpa karakter. Kubikel-kubikel, suara keyboard, kopi sachet, dan pembicaraan basa-basi yang terlalu sering diulang.

Ia tidak membenci pekerjaannya. Tapi juga tidak menyukainya.

Pekerjaan ini... hanya semacam jeda, bukan tujuan. Seperti stasiun tempat ia transit, bukan tempat untuk menetap.

---

Pukul 12.00 siang, makan siang di pantry kecil dengan sisa nasi goreng kemarin. Ia duduk sendiri. Lagi.

Ponselnya bergetar, notifikasi grup kantor yang ramai membahas hal-hal tidak penting. Ia men-silent dan mengalihkan pandangan ke luar jendela. Hujan mulai turun. Lagi.

"Kamu gak bosan, Alya?"

Itu suara Nita, rekan kerjanya. Ia duduk tanpa diundang. Membuka bekal berisi ayam goreng dan sambal.

"Bosan sama apa?"

"Sama semua ini. Kerja. Hidup. Bangun pagi buat naik kereta. Ulang terus."

Alya hanya mengangguk pelan.

"Ya. Tapi aku juga gak tahu kalau tidak begini… aku bisa jadi siapa."

Nita mengernyit. Lalu tertawa kecil.

"Puitis banget, Mbak Alya. Kayak tokoh film yang nunggu sesuatu di kereta."

Alya tersenyum. Tapi dalam hatinya, kalimat itu menusuk.

Karena mungkin itu benar.

---

Pulang kerja, hujan masih turun. Gerimis yang menggigit, mengaburkan kaca jendela kereta dengan kabut tipis. Alya kembali duduk di kursinya, tangan mengusap lengan yang basah.

Reyhan belum datang.

Detik demi detik lewat. Penumpang lain masuk. Tapi kursi itu—di depannya—kosong.

Ada yang aneh ketika ia tak melihat sosok itu di sana. Padahal, mereka belum pernah benar-benar saling menyapa.

Tapi kehadiran laki-laki itu telah jadi bagian dari rutinitas yang diam-diam membuat hidupnya terasa... ada warna.

---

Tiga hari.

Tiga hari berturut-turut Reyhan tak muncul.

Alya berusaha pura-pura tidak peduli. Tapi matanya selalu menoleh ke kursi itu. Hatinya seperti menunggu sesuatu yang ia bahkan tak tahu namanya.

---

Hari keempat, kursi itu tak lagi kosong.

Reyhan duduk di sana. Rambutnya sedikit lebih panjang, wajahnya lebih pucat. Tapi sketchbook masih di tangannya.

Alya pura-pura tidak melihat. Tapi kali ini... Reyhan menoleh. Sekilas. Tatapan singkat. Lalu kembali menggambar.

Di sudut sketchbook-nya, tertempel sesuatu.

Kertas kecil, setengah sobek, dengan tulisan pensil halus:

> “Maaf, aku absen. Dunia nyata terlalu bising.”

Alya membaca sekilas—kaget, tapi tak tahu harus bereaksi bagaimana. Ia menahan senyum.

Mungkin itu bukan untuknya. Tapi mungkin juga… iya.

---

Malamnya, di kamar kos, Alya menulis di jurnalnya:

> “Orang-orang bilang, hati bisa tenang saat mengenal seseorang. Tapi bagaimana jika seseorang itu tak pernah bicara padamu?”

---

Hujan belum berhenti malam itu. Jalanan licin, aroma aspal basah meresap ke dalam gerbong-gerbong yang lembap. Alya duduk seperti biasa—kursi keempat dari belakang, dekat jendela yang buram oleh embun.

Tapi malam itu terasa berbeda.

Reyhan datang beberapa menit setelah kereta bergerak. Napasnya memburu, jaketnya sedikit basah. Ia duduk tanpa berkata apa-apa. Tapi sketchbook-nya tak ia buka seperti biasa. Hanya diselipkan ke tasnya, dijaga erat seperti benda rapuh.

Alya melirik sesekali. Laki-laki itu menatap keluar jendela, tapi matanya kosong. Seolah sedang berada di tempat lain.

Beberapa menit berlalu dalam diam. Lalu sesuatu terjadi.

Reyhan menyelipkan selembar kertas kecil di antara celah bangku—setengah mengarah padanya.

Alya tak langsung mengambilnya. Ia berpura-pura tak melihat. Tapi jantungnya berdegup lebih cepat. Tangannya terasa hangat meski udara dingin. Saat Reyhan turun di stasiun berikutnya, ia baru meraihnya.

Di kertas itu tertulis:

> “Pernah merasa dekat dengan seseorang, tapi tak tahu harus mulai bicara dari mana?”

–R

Tulisan tangan itu halus, agak miring, seperti tulisan seseorang yang sering melatih goresan.

Alya menatap huruf-huruf itu lama. Ia membaca ulang beberapa kali, seperti mencari makna tersembunyi di balik kalimat sederhana itu.

Ia tak tahu harus tersenyum atau takut. Tapi yang jelas, ada sesuatu di dadanya yang bergerak.

---

Malam itu, di kamar kos yang sunyi, Alya membuka jurnalnya. Tangannya gemetar sedikit saat menulis:

> “Dia mulai bicara. Tanpa suara. Tapi lebih nyaring dari apa pun yang kudengar hari ini.”

Lalu ia merobek selembar halaman kosong dari buku jurnalnya.

Dan untuk pertama kalinya, ia menulis sesuatu yang akan ia bawa ke dalam kereta esok hari.

---

Pagi itu, langit mendung tapi tidak hujan. Jalanan masih basah, dan embun menempel di kaca jendela seperti sisa mimpi yang belum selesai. Alya melangkah masuk ke gerbong tiga dengan hati yang berbeda. Ada sesuatu yang ia sembunyikan dalam genggaman tangannya—kertas kecil, terlipat rapi, berisi kalimat yang ia tulis semalaman.

Reyhan sudah duduk di sana.

Sketchbook-nya terbuka, pensil di tangan, tapi ia belum menggambar. Seolah menunggu sesuatu. Atau seseorang.

Alya duduk tanpa bicara. Detak jantungnya keras, tapi wajahnya tetap tenang.

Beberapa menit berlalu. Lalu, dengan gerakan perlahan, hampir tak terlihat, ia menyelipkan kertas kecil ke dalam buku Reyhan saat tangan laki-laki itu menjauh sejenak. Tidak menatap, tidak memberi isyarat. Hanya... diam.

Kereta terus melaju. Tak ada kata terucap. Tapi saat Reyhan melihat kertas itu, matanya membeku sebentar. Ia tidak langsung membuka, hanya menyentuhnya dengan ujung jari. Lalu melipat kembali sketchbook-nya.

Ia menatap jendela. Lalu, sekilas—sangat singkat—ia menoleh ke arah Alya.

Tatapan mereka bertemu.

Dan dalam satu detik itu, dunia seolah hening. Bising kota, dentang roda kereta, bahkan denyut waktu... seolah menghilang.

---

Isi pesan Alya:

> “Mungkin kita bisa mulai dengan menjadi dua orang asing yang saling menunggu setiap pagi.”

–A

---

Alya turun di stasiun seperti biasa. Langkahnya ringan, tapi dadanya penuh gejolak. Ia tidak tahu ke mana ini akan mengarah. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa hidupnya sedang berjalan ke arah yang ia tidak bisa tebak.

Dan itu terasa... menghidupkan.

---

Dewablog Blogger ,

1 comment for "Di Antara Gerbong Kereta Bab 1"

  1. https://dhewame.blogspot.com/2025/04/di-antara-gerbong-kereta-bab-1.html?m=1

    ReplyDelete